“Kak klar, kapan tidurnya?”
Adikku menendang pantatku dengan keras. “Aku enggak bisa tidur kalau lampunya
belum mati.”
Aku hanya bisa mengelus pantatku.
“Sakit tahu.”
Adikku tertawa ringan, puas atas
tindakannya.
“Iya. Bentar lagi, ini sudah mau
selesai nyusun barangnya,” ujarku dengan nada sedikit kesal.
“Minggu depan mau ikut ngantar
kakak ke Jakarta?” tanyaku dengan nada mulai melembut.
“Enggak, ah. Ngapain? Aku kan
sekolah. Emang kakak mau gantiin aku kalau aku disuruh nulis puisi satu buku?”
“Hahaha. Sorry, kakak kan nggak
tahu,” aku hanya bisa tertawa balik mendengar ucapan adikku. “Tidur, gih, udah
malam. Bentar, kakak matikan dulu lampunya.”
“Berdoa dulu, oi. Jangan asal tidur
aja,” aku mengingatkan adikku.
Kakakku, Klarenta Claine, minggu depan masuk kuliah. Akhirnya, setelah
perjuangannya yang panjang selama SMA, dia diterima di universitas ternama di
Indonesia. Universitas Indonesia sudah memberikannya satu bangku yang
menjanjikan.
Betapa bangganya mama kami mengetahui peristiwa bersejarah bagi
keluarga kami ini. Betapa tidak. Klara ambil jurusan Kedokteran Umum. Aku sempat
pesimis dengan tindakan kakakku ini yang menurutku tidak masuk akal. Aku sering
menjatuhkan harapannya. Tapi, akhirnya dia buktikan dia bisa. Hehe,, aku jadi
malu sama Klara (Maaf ya kak, jadi adik yang enggak mendukung).
Seminggu ini kuhabiskan
bersama-sama mama, papa, dan ketiga adikku. Aku akan sangat merindukan mereka. Untuk
5,5 tahun harus kulewati seorang diri di rantau orang. Sedih memang. Tapi,
untuk cita-citaku akan kurelakan waktu yang menurutku akan cepat berlalu.
Belanja keperluan lain, berlibur
ke kampung Baribatali, menghirup udara segar di kawasan Aek Sijornih, dan memainkan
semua wahana di Green Hill City selama satu bulan sebelum aku berangkat. Semua hal
ini sudah masuk dalam daftar tempat yang harus aku kunjungi. Setahu aku di
Jakarta hanyalah gedung pencakar langit dan polusi yang akan kuhadapi.
“Klar, mau enggak kamu potong
rambut, biar nanti kalau mau belajar, kamu enggak terganggu,” teriak ibuku dari
dapur.
“Enggak, ma. Ntar kalau udah terlalu
panjang, aku potong kok,” sahutku.
“Semuanya udah dimasukkakn ke
tas, belum? Nanti biar langsung berangkat,” Mama bertanya dengan suara yang volumenya
dikecilkan.
“Apa ma? Ga dengar,” aku berusaha
mendengar dalam kuatnya volume TV yang dibuat adikku.
“TV nya dimatikan dulu, biar kamu
dengar,” mama sedikit teriak kali ini.
“Dek, kecilkan dong suara TV nya.”
“Sudah semua barang kamu masukin ke koper? Jangan ada yang
ketinggalan!”
“Sudah kok ma. Paling kalau ada
yang ketinggalan, nanti kan bisa langsung dikirim lewat TiKi.”
“Emang kakak pikir enggak mahal
per kg kiriman?” celetuk adikku yang keempat, Liahna, tiba-tiba.
“Becanda kok.”
Sore ini, kami berangkat ke
bandara. Papa, mama, Beatha, Monic, dan Liahna ikut mengantarkan aku sampai
bandara. Hiks, tangis kerinduan tidak bisa kubendung. Semua nasihat sudah
kumasukkan dalam memori otakku. Aku mencium dan merangkul mereka. Satu janjiku
untuk mama dan papa, aku harus menjadi dokter yang rendah hati.
“Dah, ma. Dah, pa. Dah, Atha,
Mon, Ana. Enam bulan lagi kita ketemu,” ucapku sambil mencium pipi mereka.
“Baik-baik di sana ya Klar. Ingat
selalu rendah hati, bijaksana, dan selalu kuat apapun yang terjadi. Jangan
cengeng. Jangan lupa berdoa. Ingat untuk menelpon mama, papa, sama adik-adikmu,”
mama berusaha menahan tangisnya saat menasihati aku.
Iya, ma. Akan kulakukan yang terbaik. Aku tahu tidak sedikit yang mama
keluarkan untuk sekolahku. Aku tidak akan-siakan semuanya itu. Aku mencintai
kalian semua.
Pesawat Garuda Airlines yang
kutumpangi lepas landas dan meninggalkan kota Medan yang sudah mulai tertutupi
oleh awan-awan.
“Sampai jumpa enam bulan lagi kota Medan. I miss you for these time
that will be going well,” ucapku dalam hati.
Bersambung....