Senin, 28 April 2014

LAST SECRETE TREASURE



“Kak klar, kapan tidurnya?” Adikku menendang pantatku dengan keras. “Aku enggak bisa tidur kalau lampunya belum mati.”
Aku hanya bisa mengelus pantatku. “Sakit tahu.”
Adikku tertawa ringan, puas atas tindakannya.
“Iya. Bentar lagi, ini sudah mau selesai nyusun barangnya,” ujarku dengan nada sedikit kesal.
“Minggu depan mau ikut ngantar kakak ke Jakarta?” tanyaku dengan nada mulai melembut.
“Enggak, ah. Ngapain? Aku kan sekolah. Emang kakak mau gantiin aku kalau aku disuruh nulis puisi satu buku?”
“Hahaha. Sorry, kakak kan nggak tahu,” aku hanya bisa tertawa balik mendengar ucapan adikku. “Tidur, gih, udah malam. Bentar, kakak matikan dulu lampunya.”
“Berdoa dulu, oi. Jangan asal tidur aja,” aku mengingatkan adikku.
Kakakku, Klarenta Claine, minggu depan masuk kuliah. Akhirnya, setelah perjuangannya yang panjang selama SMA, dia diterima di universitas ternama di Indonesia. Universitas Indonesia sudah memberikannya satu bangku yang menjanjikan.
Betapa bangganya mama kami mengetahui peristiwa bersejarah bagi keluarga kami ini. Betapa tidak. Klara ambil jurusan Kedokteran Umum. Aku sempat pesimis dengan tindakan kakakku ini yang menurutku tidak masuk akal. Aku sering menjatuhkan harapannya. Tapi, akhirnya dia buktikan dia bisa. Hehe,, aku jadi malu sama Klara (Maaf ya kak, jadi adik yang enggak mendukung).
Seminggu ini kuhabiskan bersama-sama mama, papa, dan ketiga adikku. Aku akan sangat merindukan mereka. Untuk 5,5 tahun harus kulewati seorang diri di rantau orang. Sedih memang. Tapi, untuk cita-citaku akan kurelakan waktu yang menurutku akan cepat berlalu.
Belanja keperluan lain, berlibur ke kampung Baribatali, menghirup udara segar di kawasan Aek Sijornih, dan memainkan semua wahana di Green Hill City selama satu bulan sebelum aku berangkat. Semua hal ini sudah masuk dalam daftar tempat yang harus aku kunjungi. Setahu aku di Jakarta hanyalah gedung pencakar langit dan polusi yang akan kuhadapi.
“Klar, mau enggak kamu potong rambut, biar nanti kalau mau belajar, kamu enggak terganggu,” teriak ibuku dari dapur.
“Enggak, ma. Ntar kalau udah terlalu panjang, aku potong kok,” sahutku.
“Semuanya udah dimasukkakn ke tas, belum? Nanti biar langsung berangkat,” Mama bertanya dengan suara yang volumenya dikecilkan.
“Apa ma? Ga dengar,” aku berusaha mendengar dalam kuatnya volume TV yang dibuat adikku.
“TV nya dimatikan dulu, biar kamu dengar,” mama sedikit teriak kali ini.
“Dek, kecilkan dong suara TV nya.”
“Sudah semua barang  kamu masukin ke koper? Jangan ada yang ketinggalan!”
“Sudah kok ma. Paling kalau ada yang ketinggalan, nanti kan bisa langsung dikirim lewat TiKi.”
“Emang kakak pikir enggak mahal per kg kiriman?” celetuk adikku yang keempat, Liahna, tiba-tiba.
“Becanda kok.”  
Sore ini, kami berangkat ke bandara. Papa, mama, Beatha, Monic, dan Liahna ikut mengantarkan aku sampai bandara. Hiks, tangis kerinduan tidak bisa kubendung. Semua nasihat sudah kumasukkan dalam memori otakku. Aku mencium dan merangkul mereka. Satu janjiku untuk mama dan papa, aku harus menjadi dokter yang rendah hati.
“Dah, ma. Dah, pa. Dah, Atha, Mon, Ana. Enam bulan lagi kita ketemu,” ucapku sambil mencium pipi mereka.
“Baik-baik di sana ya Klar. Ingat selalu rendah hati, bijaksana, dan selalu kuat apapun yang terjadi. Jangan cengeng. Jangan lupa berdoa. Ingat untuk menelpon mama, papa, sama adik-adikmu,” mama berusaha menahan tangisnya saat menasihati aku.
Iya, ma. Akan kulakukan yang terbaik. Aku tahu tidak sedikit yang mama keluarkan untuk sekolahku. Aku tidak akan-siakan semuanya itu. Aku mencintai kalian semua.
Pesawat Garuda Airlines yang kutumpangi lepas landas dan meninggalkan kota Medan yang sudah mulai tertutupi oleh awan-awan.
“Sampai jumpa enam bulan lagi kota Medan. I miss you for these time that will be going well,” ucapku dalam hati.   

 Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar